Pages

Tampilkan postingan dengan label 5 Stars. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label 5 Stars. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Januari 2017

Review: Semusim, dan Semusim Lagi

Judul: Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis: Andina Dwifatma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2013 (Cetakan I)
Tebal: 232 Halaman
ISBN: 978-979-22-9510-8

Membaca novel yang sama sekali belum saya ketahui sinopsisnya semacam tantangan bagi saya. Apakah novel tersebut akan memuaskan atau malah mengecewakan? Bahkan, saya juga belum pernah membaca review orang lain mengenai novel ini sebelumnya. 

Setelah sebelumnya membahas pemenang kedua di sini, sekarang saatnya saya membahas pemenang pertama.
---

Semusim, dan Semusim Lagi diambil dari puisi Sitor Situmorang yang berjudul Surat Kertas Hijau--setidaknya hal tersebut ada di cover belakang. Novel ini mengambil tokoh utama seorang gadis remaja berusia 17 tahun tanpa nama. Ia tak suka menyebutkan namanya, ia tak suka menyebutkan nama ayahnya.

Hubungan ia dan ibunya agak sulit dipahami karena mereka tinggal serumah namun hanya bicara seperlunya. Lebih terlihat seperti teman yang tidak terlalu dekat. Suatu hari, sepucuk surat muncul untuknya dari ayahnya. Ayahnya meminta agar ia datang ke kota S untuk menemuinya yang sedang sakit parah. Awalnya, ia merasa tak perlu datang ke sana karena ia ingin menjaga ibunya. Namun, suatu hal terjadi dan membuat ia akhirnya pergi ke kota S.

Di sana, ia tinggal di rumah yang bagus diantar oleh J.J. Henri, salah satu pegawai ayahnya. Ia belum menemui ayahnya karena belum saatnya. Hari demi hari ia habiskan di rumah itu sendirian. Akhirnya, J.J. Henri mengenalkannya pada Muara, anak laki-lakinya yang berusia 22 tahun.

Ia jatuh cinta pada Muara, hingga akhirnya tragedi itu terjadi. Ia bersikeras bahwa tragedi itu terjadi atas bantuan seekor ikan mas bernama Sobron. Tentu saja orang-orang tidak mempercayainya. 

---

Novel yang awalnya saya kira roman biasa ini--sekadar perempuan jatuh cinta atau rindu pada seorang lelaki, ternyata menyuguhkan cerita yang jauh lebih pelik dan di luar ekspektasi saya. Apakah memuaskan? Tentu saja. Entah mengapa novel ini semacam memiliki magnet agar saya tidak berhenti membacanya sebelum akhir.

Tokoh utama dari sebuah novel debut memang kerap kali dihubungkan dengan sang penulis. Setelah saya membaca blog Mbak Andina, memang sepertinya sang tokoh utama sangat mirip dengannya. Belum lagi bacaan-bacaan sang tokoh utama yang sering disebut dalam novel ini--lumayan banyak, sehingga saya sulit menulis ulang di sini, sama dengan bacaan-bacaan favorit Mbak Andina. Sebenarnya, bagi saya itu bukan masalah besar. Saya tetap menikmati ceritanya, kok.

Novel ini mengambil genre surealis pada akhirnya, walaupun pada bagian awal sangat terasa realisnya. Jujur, saya belum banyak membaca novel bergenre serupa. Sehingga, mungkin hal tersebut membuat saya takjub pada gaya pencerita penulisnya. Saya jadi paham kenapa novel ini menjadi Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012

Tapi kemudian saya penasaran, jangan-jangan cerita yang panjang lebar dikemukakan di novel ini oleh 'aku' hanya khayalannya semata? Jangan-jangan sebenarnya ia memiliki kedua orang tua yang sayang dan dekat padanya? Siapa tahu?

Rabu, 18 Januari 2017

Review: The Book of Tomorrow - Buku Esok Hari

Judul: The Book of Tomorrow - Buku Esok Hari
Penulis: Cecilia Ahern
Alih Bahasa: Nurkinanti Laraskusuma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Juli 2013 (Cetakan I)
Tebal: 480 Halaman
ISBN: 978-979-22-9787-4

Buku pertama Ahern yang telah saya baca, P.S. I Love You, tidak meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya. Seingat saya, buku itu menceritakan tentang seorang istri yang menemukan surat-surat dari suaminya setelah suaminya meninggal karena kanker. Well, tema yang diangkat memang terkesan menyedihkan. Namun entah mengapa, mungkin karena gaya bahasanya yang santai, sehingga saya kurang merasakan feel sedihnya.

Sekarang, mari kita membahas The Book of Tomorrow, yang membuat saya tertarik karena covernya dan tak pernah berharap bahwa buku ini akan meninggalkan kesan yang begitu kuat bagi saya sebelumnya. (Singkatnya: suka parah!)

The Book of Tomorrow menceritakan tentang kehidupan seorang gadis remaja bernama Tamara Goodwin (Ya, Goodwin. Good. Win.) setelah ayahnya ditemukan meninggal dunia, atau lebih tepatnya bunuh diri karena menenggak vodka (atau semacamnya itu, lah) di ruang kerjanya. Kehidupan remaja Tamara yang awalnya penuh hura-hura dan sangat 'remaja-luar-negeri-banget' akhirnya terpaksa berubah 180 derajat karena ternyata ayahnya meninggalkan hutang yang amat banyak sehingga semua harta yang dimiliki keluarga mereka harus dijual.

Tamara dan ibunya kemudian tinggal bersama paman dan bibinya, Arthur dan Rosalenne, di sebuah pedesaan yang tentu saja dianggap tidak memiliki 'jiwa' oleh Tamara. Mulanya, kehidupan Tamara di pedesaan memang sangat membosankan, belum lagi tingkah ibunya yang seperti orang paling depresi di seluruh dunia.

Suatu ketika, ada sebuah perpustakaan keliling dengan seorang petugas berwajah rupawan bernama Marcus datang ke rumah yang sedang ditinggali oleh Tamara. Mereka berjalan bersama ke kota dan Tamara menemukan sebuah buku polos tanpa judul dan nama penulis yang digembok di perpustakaan keliling itu. Rasa penasaran membuat Tamara membawa buku itu. Ternyata buku itu adalah buku kosong, dan suatu ketika, Tamara melihat buku itu telah ditulis dengan sudut pandang dirinya dan apa kejadian yang akan menimpanya esok hari. Tamara tidak bermimpi. Buku itu adalah petunjuk mengenai segalanya.

---

Awalnya, saya merasa buku ini akan biasa saja seperti P.S. I Love You, karena gaya bahasa yang ditampilkan sangat santai, 'remaja-luar-negeri-banget', selain itu banyak hal-hal yang tak saya mengerti dalam buku ini. (Hal-hal tentang jokes di sana, atau acara televisi di sana). Akhirnya, berkat tekad yang kuat saya berhasil menamatkan buku ini (padahal buku ini tidak tebal) dan malah kagum karena jalan ceritanya.

Semua keluarga memiliki rahasia, kebanyakan orang tidak akan pernah mengetahuinya... (hlm. 472)

Buku ini tidak sesimpel tokoh utamanya, Tamara. Buku ini menampilkan konflik yang lebih pelik dari sekadar misteri atau rasa penasaran gadis yang terkesan slengean. Sayangnya, buku ini memang diawali dengan jalan cerita yang membosankan, bertele-tele, dan terlalu banyak intro. Memasuki setengah buku, baru petualangan yang sebenarnya akan dimulai.

Kepribadian Tamara yang egois sedikit demi sedikit akan terkikis sejak Buku Esok Hari ada di tangannya. Jalan pikirannya kemudian rumit, membelit. Ia hanya seorang remaja yang ingin hidup normal, tapi kehadiran buku itu membawa petaka bagi hidupnya--walau ia juga sangat penasaran.

Saya sangat suka dengan ide cerita Ahern di buku ini. Agak seperti Agatha Christie, eh? Tanpa pembunuhan, tentunya. Tentang bagaimana Tamara mengungkap misteri-misteri yang ditunjukkan oleh buku itu adalah keseruan tersendiri bagi saya. Bahkan, Tamara dijuluki sebagai Nancy Drew oleh salah satu tokoh lain dalam buku ini.

Walau ada beberapa hal yang terasa mengganjal, namun saya akan tetap memberi 5 bintang untuk buku ini karena ide cerita dan petualangan batin yang saya dapat :p

Sabtu, 24 Desember 2016

Review: Sad Cypress - Mawar Tak Berduri


Judul: Sad Cypress - Mawar Tak Berduri
Penulis: Agatha Christie
Alih Bahasa: Ny. Suwarni A.S.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Februari 2013 (Cetakan VII)
ISBN: 978-979-22-9155-1

Adegan pertama berada di ruang sidang dengan Elinor Carlisle sebagai terdakwa pembunuhan seorang gadis muda yang cantik dan disenangi semua orang, Mary Gerrard.

Semua bukti mengarah pada Elinor dan ia tak bisa mengelak karena bukti-bukti yang dikemukakan memang benar adanya.

Seoang dokter bernama Peter Lord berusaha keras untuk mencari bukti-bukti lain karena ia yakin Elinor bukanlah pembunuh Mary Gerard. Akhirnya Peter Lord membutuhkan bantuan Hercule Poirot untuk memecahkan kasus ini.

Apakah benar Elinor yang telah membunuh Mary Gerard? Atau mungkin Mary Gerard bunuh diri? Mungkinkah Roddy atau Ted atau Suster Hopkins atau Suster O'brien yang membunuh Mary? Atau ada pelaku lain yang tidak muncul sebagai tokoh dalam novel ini?

***

Membaca adegan pertama novel Agatha Christie yang satu ini bisa dibilang mirip dengan kasus yang beberapa bulan terakhir heboh di Indonesia, kasus sianida. Bedanya, Mary Gerard dalam novel ini mati karena morfin. Semua bukti pun hanya mengarah pada Elinor. Hanya Elinor lah yang memiliki alasan untuk dapat membenci Mary sehingga mungkin dapat berpikir untuk membunuhnya.

Saya sendiri dari awal agak bingung untuk berpikir siapa pelaku sebenarnya, karena tingkah Elinor memang benar-benar seperti pembunuh Mary. Lalu, hampir semua tokoh saya curigai. Dan pada akhirnya, tebakan saya mengenai pembunuh Mary yang sebenarnya ternyata betul.

Saya lega setelah mengetahui hal tersebut. Meskipun begitu, saya tetap menyukai jalan cerita yang dibuat sedemikian rupa oleh Agatha Christie dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh para tokoh dalam novel ini. Selain itu, saya juga menyukai kisah cinta manis yang menjadi bumbu novel ini ;)

Selasa, 08 Desember 2015

Review: Sabtu Bersama Bapak


Judul: Sabtu Bersama Bapak
Penulis: Adhitya Mulya
Penerbit: GagasMedia
Terbit: 2015 (Cetakan XII)
ISBN: 978-979-780-721-4

Gunawan Garnida memutuskan untuk merekam video-video yang akan ditinggalkannya untuk anak-anaknya agar anak-anaknya tetap mengenal dan merasa dekat dengannya walaupun ia tidak bisa lagi di samping mereka, karena penyakit yang dideritanya. Dibantu oleh Itje, istrinya, maka ia memulai untuk merekam video-video tentang pelajaran hidup maupun sekadar berbagi cerita untuk Satya dan Cakra, kedua anak mereka.

***

Baru membaca sampai halaman ke-13 novel ini saja saya sudah meneteskan air mata. Entah karena novel ini benar-benar menyentuh atau hanya karena saya yang terlalu sensitif? Kata-kata Gunawan Garnida banyak yang menginspirasi dan memberi pelajaran bukan hanya untuk anak-anaknya, tapi juga untuk para pembaca novel ini. 

Alur novel ini juga dibuat halus dan membuat saya sebagai pembaca sangat nyaman saat membaca novel ini. Speechless pokoknya, nggak bisa berkata apa-apa lagi saya. Pokoknya saya sangat merekomendasikan novel ini bagi siapa pun. Laki-laki maupun perempuan, lajang maupun akan menikah atau sudah menikah sekalipun. Karena saya merasa, pemikiran pembaca pasti akan berubah ke arah yang lebih baik setelah membaca novel ini.



Rabu, 07 Januari 2015

Review: Looking for Alaska (Mencari Alaska)

Judul : Looking for Alaska (Mencari Alaska)
Pengarang : John Green
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2014 (Cetakan I)
Halaman : 286
Harga : Rp.55.000,-
ISBN : 978-602-03-0732-9

Miles Halter yang tidak punya teman akhirnya memutuskan untuk pindah ke sekolah asrama Culver Creek di Alabama dan meninggalkan kedua orangtuanya di Florida. Ia sekamar dengan seseorang yang bernama Chip Martin, namun biasa dipanggil Kolonel, yang memberikan julukan Pudge untuk Miles. Dari Kolonel, Pudge dikenalkan dengan Alaska, seorang anak perempuan yang nyentrik, lucu, pintar, dan memikat. Selain Alaska, ada juga Takumi. Mereka berempat selalu bersekongkol untuk melakukan kejahilan-kejahilan atau melanggar peraturan.

Hidup Pudge yang tadinya amat membosankan, menjadi sangat gila dan tak pernah ia dapat bayangkan sebelumnya.

Membaca novel konyol ini akan membuat kita banyak tersenyum dan bahkan tertawa. Sosok Pudge digambarkan sangat kuat karena ia mempunyai satu sifat yang unik, yaitu hapal setiap kalimat terakhir dari orang-orang terkenal di dunia. Begitu juga dengan Alaska yang ceplas-ceplos dan jalan pikirannya selalu out of the box.

Ending novel ini cukup mengejutkan dan sangat cerdas. John Green selalu dapat membuat kagum mulai dari The Fault in Our Stars, An Abundance of Katherines, dan saat ini saya sedang menunggu Paper Towns.


Senin, 16 Desember 2013

Review: Satin Merah

Judul: Satin Merah
Pengarang: Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penerbit: GagasMedia
Terbit: 2010
Halaman: 313

Sinopsis:
Satu-satunya cara untuk membuat Nadya merasa dirinya berharga dan 'terlihta' adalah dengan selalu berprestasi. Tapi, seiring waktu berlalu, dia mendapati sinarnya kian memudar. Nadya tak ingin terlupakan. Dia merasa harus membuat gebrakan prestasi untuk membuat pujian dan tatapan kagum kembali tertuju padanya.

Lomba bergengsi se-Bandung Raya inilah kartu As-nya.

Awalnya, ambisi itu terasa tak berbahaya. Dia melebur di dalam diri Nadya--membuatnya kuat, memberinya semangat. Nadya tidak menyadari perasaan itu menekan dirinya begitu rupa, membuatnya menjadi seseorang yang benar-benar berbeda.

Tapi sayang, sebelum Nadya berhasil mengendalikan diri, satu orang keburu mati karenanya....

"Tema yang nyaris tak tersentuh oleh penulis zaman sekarang. Dipadukan dengan kehidupan anak muda yang sangat akrab dengan teknologi internet. Menarik banget. Unik. Orizinal."
Feby Indirani-Novelis Gerimis, Lantai 13, Cewek Metropolis, dan Simfoni Bulan.

"Drama suspens menyelimuti perjalanan roh para pelakon. Menggigit dan menggigilkan tubuh pembacanya!"
Kirana Kejora-Penulis skenario FTV, Sastrawan Independen, Novelis Elang.

Review:
Aku melihat Nadya ini sebagai seorang remaja yang sangat ambisius. Kuulangi, sangat ambisius. Wajar sih, seseorang yang sering mendapatkan prestasi memang harus fokus untuk mencapai tujuannya. Tapi tidak dengan cara yang seperti Nadya lakukan juga.

Nadya memiliki otak yang pintar. Ia selalu menduduki peringkat pertama sejak SD sampai SMA. Itu berkat Energi Putih yang dimilikinya. Jadi, Nadya dapat mengerti dengan jelas suatu pelajaran jika ia mengobrol dengan sang penulis buku. Semacam transfer ilmu, gitu.

Nah, lomba Siswa Teladan se-Bandung Raya inilah yang membuat Nadya semakin lama semakin berubah. Awalnya, ia yang sangat ambisius ingin sekali memilih topik untuk makalahnya yang unik, beda dari yang lain. Padahal teman-temannya menyarankan agar ia mengambil topik yang sedang hangat dibicarakan saja. Akhirnya terpilihlah tema Sastra Sunda sejak ia mendengar pembicaraan seorang bapak dengan seorang pemuda yang memakai bahasa Sunda.

Nadya mulai mencari-cari orang yang bisa ia jadikan sebagai narasumber dalam makalahnya. Mulai dari guru bahasa Sunda-nya yang ternyata tidak mengerti apa-apa, Yahya Soemantri; sastrawan Sunda yang terkenal arogan dan penyendiri, Didi Sumpena Pamungkas; sastrawan Sunda yang juga ahli kriminologi, Nining Tresna Munandar; sastrawan Sunda yang baik hati, ramah, dan penuh cinta, hingga Lina Inawati; sastrawan Sunda yang juga dosen Sastra Sunda di Unpad.

Awalnya, Nadya "tidak sengaja" membunuh Yahya Soemantri. Tapi entah kenapa, ia jadi seperti ketagihan karena setiap setelah membunuh orang, pasti ia bisa menelurkan sebuah karya masterpiece yang mirip dengan karya orang yang dibunuhnya tersebut.

Di novel ini, kita tidak dituntut untuk memecahkan siapa sebenarnya sang pelaku pembunuhan karena pelakunya itu sudah pasti. One and only. Tebak saja sendiri.

Yang aku suka dari novel ini adalah, pembaca seakan-akan dibawa masuk ke dalam ceritanya. Walaupun aku tidak tahu dimana letak daerah Sentrasari, Bandung. Untuk itu, aku nggak segan-segan untuk memberi bintang 5 pada novel ini. Pokoknya novel ini harus difilmkan! Aku nggak mau tahu! Pasti bakal keren banget jadinya.

Jumat, 22 November 2013

Review : Incognito

Judul : Incognito
Pengarang : Windhy Puspitadewi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2009
Halaman : 201

Sinopsis :
Sisca dan Erik tidak pernah menyangka, perjalanan waktu yang selama ini hanya mereka baca di buku akhirnya mereka alami sendiri!

Semua bermula ketika ia dan Erik harus mengambil foto di kawasan Kota Lama Semarang untuk tugas sekolah. Seorang anak bernama Carl tiba-tiba muncul di hadapan mereka dan mengaku berasal dari masa lalu.

Sisca dan Erik mendadak terseret petualangan bersama Carl, pergi ke tempat-tempat asing, bertemu dengan tokoh-tokoh sejarah yang selama ini cuma mereka temui dalam buku. Petualangan yang membuat mereka belajar banyak: menghargai waktu, persahabatan, dan diri mereka sendiri.

Review : 
Novel ini menceritakan tentang remaja bernama Erik dan Sisca yang bermusuhan sejak mereka saling kenal. Lucunya, mereka selalu berada dalam satu kelas sejak SMP sampai kelas 1 SMA.
Erik memiliki sifat yang dingin, sinis dan juga ehm..narsis. Namun sebenarnya ia pintar dan baik. Ia hanya tidak memperlihatkannya. Sisca sebal pada sifat Erik yang seperti itu.
Suatu hari, mereka ditugaskan untuk mengobservasi peninggalan bersejarah. Mereka berdua pun pergi ke Kota Lama Semarang karena mereka sekelompok. Tanpa diduga, disana mereka bertemu dengan Carl, seorang anak lelaki seusia mereka yang ternyata berasal dari masa lalu! Carl mempunyai jam yang disebutnya sebagai mesin waktu karena ia dapat pergi kemana pun dengan jam tersebut. Secara tidak sengaja, Erik dan Sisca ikut menjelajah waktu bersama Carl. Mereka bertemu dengan tokoh-tokoh terkenal dunia seperti Archimedes, Charles Darwin, dll.
Lalu, apakah Erik dan Sisca dapat pulang ke masa mereka kembali? Atau mereka akan terjebak di masa lalu? Dan siapa Carl? Mengapa tiba-tiba ia muncul?

Aku sangat suka dengan novel ini. Karena novel ini berbeda dari teenlit kebanyakan. Novel ini memberi kita banyak pengetahuan. Baik pengetahuan mengenai kehidupan pada jaman dahulu, maupun pengetahuan bahasa. Di novel ini, tidak hanya ada bahasa Inggris, namun juga ada bahasa Belanda, Jepang, dll.

"Jika kamu mengubah sejarah hari ini, kamu akan mengubah sejarah hingga lebih dari dua ribu tahun ke depan. Kamu mau mempertanggungjawabkannya?"
- Erik

Judul novel ini berasal dari kata terra incognita yang menurut Webster's Distionary artinya "unknown land" atau tanah tak dikenal. Mbak Windhy Puspitadewi memilih judul ini karena ketiga tokohnya bertualang dengan berpindah-pindah tempat dan waktu yang tak mereka kenal.
Mbak Windhy juga mengatakan bahwa novel ini adalah novel paling mahal dan melelahkan yang pernah ia buat. Ya, menurutku, hasilnya worth it banget, sih! Endingnya juga tidak terduga. Pokoknya kalian tidak akan menyesal kalau membeli novel ini. Ditunggu karya-karya selanjutnya, Mbak Windhy! :)

Sabtu, 16 November 2013

Review : U-Turn

Judul : U-Turn
Pengarang : Nadya Prayudhi
Penerbit : PlotPoint
Terbit : April 2013
Halaman : 228

Sinopsis :
Karin selalu takut mencintai dirinya. Hampir separuh hidupnya ia mencari cinta dari orang lain. Baginya, itu jauh lebih mudah. Namun, kini orang yang dia pikir akan jadi cinta terakhirnya memutuskan untuk pergi.

Kehilangan Bre memaksa Karin kembali beradu dengan luka-luka hidupnya yang masih menganga. Dunianya kini jadi jungkir balik. Kini Karin terpaksa melihat kembali ke titik-titik penting perjalanan hidupnya. Mulai dari saat Bre menatapnya dalam mobil waktu itu. Mulai dengan mencari penebusan pertanyaan Bre: "Karin, apa benar--lo dulu pernah membunuh orang?"

Kini hidupnya terhenti. Karin tahu dia tidak lagi bisa terus berjalan. Dia harus berbalik.

Review :
Novel ini menceritakan seorang gadis bernama Karin yang mengalami patah hati karena baru saja diputuskan oleh Bre, pacar yang selama ini sudah menemaninya selama 2 tahun. Karin merasa membutuhkan alasan mengapa Bre memutuskan hubungan mereka. Namun, Bre menjauh. 
Lalu, Karin pun mencoba memikirkan apa kesalahannya dan pikirannya pun berkelana ke masa lalunya. Saat bersama mantan pacar pertamanya yang ringan tangan di Bali, lalu bersama mantan pacar keduanya yang sangat baik namun gay di Malaysia. Dan juga masa lalunya bersama Abi, sepupu kesayangannya, saat mereka masih SMA.
Apakah akhirnya Karin tahu alasan Bre meninggalkannya? Dan mengapa selama ini ia selalu dihantui perasaan bersalah? Ia ingin bahagia, namun merasa tidak pantas untuk bahagia.

Cover novel ini sangat menarik. Walau awalnya aku kira ini jenis novel teenlit, tapi aku tidak menyesal kok, sudah membaca novel ini. Sumpah, ceritanya yang bernuansa dark sangat unpredictable. Kadang aku benci Karin. Kenapa? Karena ia sangat plin plan dalam memutuskan sesuatu, seperti yang sering dikatakannya, ia berzodiak libra. 
Bre, kenapa kamu mudah percaya pada orang lain? Dan kenapa kamu diam saja waktu 'kejadian' itu di masa lalu terjadi? Kenapa? Kenapa? *ceritanya ngambek sama Bre* 
Dan dari semua tokoh, aku paling benci sama Marisa! Siapa Marisa? Sudah, baca aja novelnya! Recommended banget, kok! Dijamin nggak akan nyesel!

Aku sangat salut pada Mbak Nadya Prayudhi yang katanya untuk menyelesaikan novel ini membutuhkan waktu selama 9 tahun! Wow! Dan hasilnya memang sangat memuaskan! Untuk Mbak Nadya, ditunggu novel-novel selanjutnya, ya! :)