Pages

Senin, 16 Desember 2013

Review: Satin Merah

Judul: Satin Merah
Pengarang: Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penerbit: GagasMedia
Terbit: 2010
Halaman: 313

Sinopsis:
Satu-satunya cara untuk membuat Nadya merasa dirinya berharga dan 'terlihta' adalah dengan selalu berprestasi. Tapi, seiring waktu berlalu, dia mendapati sinarnya kian memudar. Nadya tak ingin terlupakan. Dia merasa harus membuat gebrakan prestasi untuk membuat pujian dan tatapan kagum kembali tertuju padanya.

Lomba bergengsi se-Bandung Raya inilah kartu As-nya.

Awalnya, ambisi itu terasa tak berbahaya. Dia melebur di dalam diri Nadya--membuatnya kuat, memberinya semangat. Nadya tidak menyadari perasaan itu menekan dirinya begitu rupa, membuatnya menjadi seseorang yang benar-benar berbeda.

Tapi sayang, sebelum Nadya berhasil mengendalikan diri, satu orang keburu mati karenanya....

"Tema yang nyaris tak tersentuh oleh penulis zaman sekarang. Dipadukan dengan kehidupan anak muda yang sangat akrab dengan teknologi internet. Menarik banget. Unik. Orizinal."
Feby Indirani-Novelis Gerimis, Lantai 13, Cewek Metropolis, dan Simfoni Bulan.

"Drama suspens menyelimuti perjalanan roh para pelakon. Menggigit dan menggigilkan tubuh pembacanya!"
Kirana Kejora-Penulis skenario FTV, Sastrawan Independen, Novelis Elang.

Review:
Aku melihat Nadya ini sebagai seorang remaja yang sangat ambisius. Kuulangi, sangat ambisius. Wajar sih, seseorang yang sering mendapatkan prestasi memang harus fokus untuk mencapai tujuannya. Tapi tidak dengan cara yang seperti Nadya lakukan juga.

Nadya memiliki otak yang pintar. Ia selalu menduduki peringkat pertama sejak SD sampai SMA. Itu berkat Energi Putih yang dimilikinya. Jadi, Nadya dapat mengerti dengan jelas suatu pelajaran jika ia mengobrol dengan sang penulis buku. Semacam transfer ilmu, gitu.

Nah, lomba Siswa Teladan se-Bandung Raya inilah yang membuat Nadya semakin lama semakin berubah. Awalnya, ia yang sangat ambisius ingin sekali memilih topik untuk makalahnya yang unik, beda dari yang lain. Padahal teman-temannya menyarankan agar ia mengambil topik yang sedang hangat dibicarakan saja. Akhirnya terpilihlah tema Sastra Sunda sejak ia mendengar pembicaraan seorang bapak dengan seorang pemuda yang memakai bahasa Sunda.

Nadya mulai mencari-cari orang yang bisa ia jadikan sebagai narasumber dalam makalahnya. Mulai dari guru bahasa Sunda-nya yang ternyata tidak mengerti apa-apa, Yahya Soemantri; sastrawan Sunda yang terkenal arogan dan penyendiri, Didi Sumpena Pamungkas; sastrawan Sunda yang juga ahli kriminologi, Nining Tresna Munandar; sastrawan Sunda yang baik hati, ramah, dan penuh cinta, hingga Lina Inawati; sastrawan Sunda yang juga dosen Sastra Sunda di Unpad.

Awalnya, Nadya "tidak sengaja" membunuh Yahya Soemantri. Tapi entah kenapa, ia jadi seperti ketagihan karena setiap setelah membunuh orang, pasti ia bisa menelurkan sebuah karya masterpiece yang mirip dengan karya orang yang dibunuhnya tersebut.

Di novel ini, kita tidak dituntut untuk memecahkan siapa sebenarnya sang pelaku pembunuhan karena pelakunya itu sudah pasti. One and only. Tebak saja sendiri.

Yang aku suka dari novel ini adalah, pembaca seakan-akan dibawa masuk ke dalam ceritanya. Walaupun aku tidak tahu dimana letak daerah Sentrasari, Bandung. Untuk itu, aku nggak segan-segan untuk memberi bintang 5 pada novel ini. Pokoknya novel ini harus difilmkan! Aku nggak mau tahu! Pasti bakal keren banget jadinya.

2 komentar:

  1. waaaah setrasari itu rumah mamakuuu di banduuung...jadi penasaran sama buku ini...settingnya familiar nih kayanya

    BalasHapus