Judul: Semusim, dan Semusim Lagi
Penulis: Andina Dwifatma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: April 2013 (Cetakan I)
Tebal: 232 Halaman
ISBN: 978-979-22-9510-8
Membaca novel yang sama sekali belum saya ketahui sinopsisnya semacam tantangan bagi saya. Apakah novel tersebut akan memuaskan atau malah mengecewakan? Bahkan, saya juga belum pernah membaca review orang lain mengenai novel ini sebelumnya.
Setelah sebelumnya membahas pemenang kedua di sini, sekarang saatnya saya membahas pemenang pertama.
---
Semusim, dan Semusim Lagi diambil dari puisi Sitor Situmorang yang berjudul Surat Kertas Hijau--setidaknya hal tersebut ada di cover belakang. Novel ini mengambil tokoh utama seorang gadis remaja berusia 17 tahun tanpa nama. Ia tak suka menyebutkan namanya, ia tak suka menyebutkan nama ayahnya.
Hubungan ia dan ibunya agak sulit dipahami karena mereka tinggal serumah namun hanya bicara seperlunya. Lebih terlihat seperti teman yang tidak terlalu dekat. Suatu hari, sepucuk surat muncul untuknya dari ayahnya. Ayahnya meminta agar ia datang ke kota S untuk menemuinya yang sedang sakit parah. Awalnya, ia merasa tak perlu datang ke sana karena ia ingin menjaga ibunya. Namun, suatu hal terjadi dan membuat ia akhirnya pergi ke kota S.
Di sana, ia tinggal di rumah yang bagus diantar oleh J.J. Henri, salah satu pegawai ayahnya. Ia belum menemui ayahnya karena belum saatnya. Hari demi hari ia habiskan di rumah itu sendirian. Akhirnya, J.J. Henri mengenalkannya pada Muara, anak laki-lakinya yang berusia 22 tahun.
Ia jatuh cinta pada Muara, hingga akhirnya tragedi itu terjadi. Ia bersikeras bahwa tragedi itu terjadi atas bantuan seekor ikan mas bernama Sobron. Tentu saja orang-orang tidak mempercayainya.
---
Novel yang awalnya saya kira roman biasa ini--sekadar perempuan jatuh cinta atau rindu pada seorang lelaki, ternyata menyuguhkan cerita yang jauh lebih pelik dan di luar ekspektasi saya. Apakah memuaskan? Tentu saja. Entah mengapa novel ini semacam memiliki magnet agar saya tidak berhenti membacanya sebelum akhir.
Tokoh utama dari sebuah novel debut memang kerap kali dihubungkan dengan sang penulis. Setelah saya membaca blog Mbak Andina, memang sepertinya sang tokoh utama sangat mirip dengannya. Belum lagi bacaan-bacaan sang tokoh utama yang sering disebut dalam novel ini--lumayan banyak, sehingga saya sulit menulis ulang di sini, sama dengan bacaan-bacaan favorit Mbak Andina. Sebenarnya, bagi saya itu bukan masalah besar. Saya tetap menikmati ceritanya, kok.
Novel ini mengambil genre surealis pada akhirnya, walaupun pada bagian awal sangat terasa realisnya. Jujur, saya belum banyak membaca novel bergenre serupa. Sehingga, mungkin hal tersebut membuat saya takjub pada gaya pencerita penulisnya. Saya jadi paham kenapa novel ini menjadi Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012.
Tapi kemudian saya penasaran, jangan-jangan cerita yang panjang lebar dikemukakan di novel ini oleh 'aku' hanya khayalannya semata? Jangan-jangan sebenarnya ia memiliki kedua orang tua yang sayang dan dekat padanya? Siapa tahu?